Sabtu pagi di akhir februari tahun ini, sekitar pukul 10.00 WIB bus yang akan menemani perjalananku dan keluargaku kali ini rupanya sudah terlihat di area parkir yang menjadi meeting point kami. Selepas menyempatkan diri berziarah ke makam mamah di pagi hari, aku bersama kedua adik perempuanku mulai bergegas memasuki bus, memilih kursi kemudian menata barang bawaan kami. Semua sanak keluargaku sudah mulai memadati bus, kamipun mulai berangkat dan membuka perjalanan ini dengan membaca doa bersama-sama, memohon agar selama perjalanan ini diberi kemudahan dan selamat sampai tujuan. Perjalanan kali ini akan kami tempuh sekitar -+12 jam menggunakan bus dari Cianjur menuju kabupaten Tasikmalaya yang terkenal dengan salah satu situs peninggalan sejarah berupa goa alam dan makam waliyullah Syeikh Abdul Muhyi. Makam ini terletak di daerah Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya. Untuk menempuh perjalanan sekitar 12 jam ini sudah dipastikan bahwa setibanya disana hari sudah gelap. Hal ini sengaja direncanakan agar saat berziarah nanti tidak terlalu sesak dengan pengunjung, terlebih karena kondisi pandemi saat ini yang mengharuskan kami (dan kita semua) untuk terus menerapkan protokol kesehatan. Sesampainnya di Bandung, kami berhenti untuk menunaikan shalat dzuhur yang dijama taqdim dengan ashar, sekaligus mengisi perut yang sudah mulai meminta jatahnya, padahal saat dalam perjalanan segala macam makanan ringan masuk ke mulut dan dilahap dengan nikmat (wk). Sapanjang ini, jalanan masih terbilang lancar dan nyaman, paling hanya macet barang 15-20 menit di area rawan macet seperti saat memasuki tol Padalarang dan beberapa pusat perbelanjaan. Selepas menunaikan shalat kamipun melanjutkan kembali perjalanan menuju Tasik, sayangnya saat itu tak banyak yang bisa kuceritakan karena rupanya kantuk mulai menyerang kedua mataku, ditambah keadaan dalam bus yang terasa agak sedikit hening karena hampir semua kursi dipenuhi oleh lautan mimpi anak adam (wk), maklum habis makan. Daah bobo dulu.
Waktu menunjukan pukul 17.00 WIB, aku terbangun dari tidurku dikarenakan sebuah insiden kecil yang mengharuskan kami semua untuk turun. Saat kulihat sekeliling rupanya sudah memasuki daerah Tasik, seingatku namanya daerah Ciawi. 10 menit sudah berlalu, kamipun melanjutkan perjalanan dan berhenti di masjid daerah Raja Polah untuk menunaikan sholat Magrib dan bersiap untuk menyantap makan malam. Langit sudah gelap, setengah jam sudah berlalu, kamipun bergegas menaiki bus dan kembali duduk dikursi masing-masing. Di dalam bus, beberapa dari kami bercengkrama sambil sesekali menertawakan film lucu yang sedang diputar, sebagian lainnya adapula yang tertidur. Biasanya, saat melihat jalanan malam terasa menyenangkan bagiku tapi karena kondisi sekitar jalan yang sangat minim lampu dan terasa sedikit berliuk-liuk, hal ini justru membuatku sedikit bosan dan kembali merasakan kantuk. Akhirnya kuputuskan untuk kembali memejamkan mata. Pukul 10 malam lewat beberapa menit akhirnya sampai, beberapa sanak saudara mulai saling mengingatkan agar bersiap-siap untuk turun, memeriksa kembali barang-barang berharga seperti dompet, hp, atau sejenisnya yang baiknya dimasukan kedalam tas yang akan dibawa. Kamipun turun, dimulai dengan bismillah memulai berjalan kaki menuju makam terlebih dahulu yang dikepalai oleh paman kami selaku pemandu wisata rohani kali ini hihi. Untuk sampai ke makam Syekh Abdul Muhyi, kami menempuh sekitar kurang lebih 600-700 meter dengan berjalan kaki. Meski begitu, berjalan disana sangat tidak terasa karena disamping kanan kiri kami, banyak sekali pusat perbelanjaan yang siap memanjakan mata juga bisa dijadikan oleh-oleh khas setempat.
Waktu menunjukan pukul 23.00 atau sekitar pukul 11 malam, sampailah kami di depan gapura yang yang bertuliskan “Selamat Datang di Makam Waliyullah Syekh Haji Abdul Muhyi Safarwadi di Pamijahan” di ujung jembatan berwarna putih hijau. Setalah melalui gapura tersebut, kami masih harus melewati beberapa anak tangga untuk sampai ke bangunan persegi panjang menyerupai rumah. Oh iya sebelum memasuki kawasan makam, alangkah lebih baiknya mengambil air wudhu terlebih dahulu. Di sekeliling tangga menuju bangunan terdapat kurang lebih 24 makam keluarga yang tidak terlalu menonjol. Terlebih saat itu kondisi agak sedikit gelap, membuat makam-makam di sekeliling tangga tidak terlalu terlihat. Setibanya di muka bangunan, di semua sudut dan ruang bangunan terdapat makam-makam yang berjumlah 11 makam dan tepat di bagian tengah bangun itu terdapat satu makam yang ditutupi oleh dinding dan beberapa gerbang yang digembok yang menjadi makam utama. Ada sekitar 6-7 peziarah lainnya yang terlihat di dalam bangunan saat itu, syukurlah tidak terlalu ramai saat kami sampai. Ziarah kali ini dipimpin oleh Om ada, salah satu paman kami. Sambil mengikuti tiap lapadz yang dilafalkan, kamipun hanyut dalam kekhusyuan. Oiya, perlu ditekankan ya, niat berziarah itu bukan untuk berdoa kepada yang wafat dalam artian ini Syekh Abdul Muhyi, tetapi berdoa hanya kepada Allah dengan wasilah Sang Waliyullah.
Sekilas mengenai Syeikh Abdul Muhyi beliau adalah putra keluarga bangsawan melalui seorang ibu yang bernama Ny. R. Ajeng Tanganjiah yang merupakan keturunan dari Raja Galuh (Pajajaran). Syeikh Abdul Muhyi lahir di Mattaram sekitar tahun 1650 M/1071 H. Beliau dibesarkan di Ampel/Gresik dan hidup dengan kedua orangtuanya sekaligus berguru kepada para ulama-ulama yang berada di Ampel. Dengan niat menimba ilmu lebih luas lagi, merantaulah beliau dari Ampel menuju Aceh diusianya yang masih 19 tahun untuk berguru kepada Syekh Abdul Rauf bin Abdul Jabar, seorang sufi dan guru tarekat Shattariyyah. 8 tahun mempelajari ilmu agama di Acah, saat menginjak usia 27 tahun, beliau beserta teman satu pesantrennya dibawa berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Jaelani di Bagdad oleh gurunya dan bermukim selama kurang lebih 2 tahun untuk menerima ijazah ilmu agama Islam. 2 tahun sudah mereka bermukim di sana, dan dibawalah mereka ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Selepas kepulangannya dari Mekkah, Syekh Abdul Rauf yang menjadi guru beliau menyampaikan pesan dan meminta Syekh Abdul Muhyi segera pulang dan mencari sebuah gua di bagian barat pulau Jawa untuk menetap dan bermukim. Menurut pemaparan AA Khaerussalam dalam bukunya Sejarah Perjuangan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, Syekh Abdul Rauf pada saat menunaikan ibdah haji di Mekkah mendapatkan ilham yang konon diantara para santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Pada ilham itu, dinyatakan bahwa tetika tanda-tanda itu telah tampak segeralah ia sampaikan untuk memintanya pulang dan mencari sebuah gua di daerah jawa bagian barat untuk menetap. Tanda-tanda tersebut rupanya tertuju pada Syekh Abdul Muhyi bahkan saat masih berada di Mekkah. Begitulah sedikit kisah tentang Syeikh Abdul Muhyi yang akhirnya mulai menyebarkan agama Islam di daerah Garut Selatan yang pada saat itu mayoritas penduduknya masih memeluk agama Hindu. Perjalanan beliau dalam menyebarkan ajaran Islam tak hanya sebatas di daerah Jawa Barat saja, tapi juga sampai ke pelosok-pelosok kampung halaman beliau. Tak heran, saat ia wafat di usia 80 tahun, para pengikutnya baik yang dekat maupun jauh saling berdatangan untuk mengunjungi makam beliau di Pamijahan dengan penuh rasa duka.
to be continue yaaa