Sosok Bapak

Dengan sedikit memberanikan diri aku memutuskan menulis cerita ini. Meskipun merasa sedikit kebingungan harus kumulai dari mana. Jadi jika dipertengahan cerita ini dirasa aga sedikit loncat-loncat alurnya, tolong dimaklum. Menulis tentang sosok bapak apalagi mamah selalu membuatku merasa cacat karena sulit sekali mendeskripsikan cinta kasih keduanya, rasanya tidak ada kata apapun yang mampu menggambarkan perjuangan dan kasih mereka yang begitu damai, cinta mereka yang begitu besar, keringat mereka yang tak hentinya bercucuran, dan ahh lagi-lagi sungguh tidak ada kata apapun yang mampu mendeskripsikan peluh dan dekap mereka. Tapi dengan segala kurang ini, aku ingin sekali menemukan cerita mereka di sisa waktu yang entah sampai kapan akan utuh seperti ini. Kali ini tentang Bapak.
 Semua orang yang mengenal bapakku pasti sudah tau tabiat dan sifat beliau seperti apa. Meskipun sedikit sekali kata-kata yang keluar dari lisannya, tapi aku tau betul banyak kasih yang beliau pendam dan lebih ia tunjukan lewat perbuatan dan kerja kerasnya selama ini. Iya, adalah orang pertama yang tak pernah kuragukan akan kerja kerasnya. Lain halnya dengan yang orang yang belum pernah bertemu dengan beliau, jika mereka melihat bapak lewat secarik foto, kebayakan pasti mengatakan bapak seram karena punya kumis yang lumayan tebal, perawakan yang terbilang cukup tinggi dengan badan besar dan kulit sawo matang. Teman-teman sd-ku dulu selalu bilang pak raden, karena mirip sekali dengan salah satu tokoh di serial "si uyil ini", katanya. Ciri khas yang paling melekat di bapak ialah selalu menggunakan jaket kulit,  jika tidak sudah dipastikan yang ia pakai adalah jaket loreng army. Beliau senang sekali mengoleksi berbagai macam jaket—selain mengoleksi barang² antik semacam batu giok (tapi ini dulu sekali). Oia selain jaket ciri khas lain yang melekat dibapak juga sering dipanggil pak haji padahal belum haji 😂, Pak haji misbah mau kemana? begitu biasanya.
  Bapak terbilang orang yang tegas meskipun sesekali keras, tapi perlu digaris bawahi tegas dan keras bukan berarti kasar ya. Bapak tegas dan keras hanya pada prinsip dan omongannya. Meskipun demikian aku tau bapak berhati lembut, hanya saja beliau sangat pandai menyembunyikan perasaaanya dihadapan kami. Beliau jarang sekali menangis, kecuali beberapa kali ketika aku pergoki sesaat setelah selesai menunaikan sholat, atau saat-saat kepergiaan mamah, itupun hanya sebentar karena tau jika ia menangis bukan tidak mungkin kami sebagai anaknya akan mencontoh yang demikian. Moment bapak menangispun jadi kejadian yang sangat langka terlihat. Aku hanya akan bercerita tentang bapak yang sekarang, bapak yang selepas kehilangan mamah.
  Sekitar awal 2014 lalu, mamah wafat karena penyakit yang diidapnya. Saat itu aku benar-benar terpukul karena harus kehilangan sosok mamah diusia sekitar 17-an itu. Bapakpun pasti demikian, apalagi jika mengingat adik terakhirku yang masih sangat kecil, baru sekali menginjak usia 3 tahun. 4 tahun sudah aku menjalani hari-hari di pondok pesantren dan jarang bertemu mamah karena setiap dijenguki mamah jarang sekali ikut. Kata bapak, kasian pasti akan capek sekali karena mamah tipikal istri yang jarang sekali keluar rumah dan melakukan berbagai macam aktivitas diluar rumah. Bapak memang perhatian. Keseharian mamah hanya mengurus anak-anak atas keinginan bapak. Sesekali juga mengurusi administrasi pengeluaran dan pemasukan usaha bapak. Sempat juga beberapa kali mencoba berjualan aneka kue dan cemilan ringan dari rumah, tapi itupun dibuat ketika memang ada pesanan saja—kebetulan saat itu bapak punya pegawai yang biasa membantu urusan transportasi barang dagangan. Bapak bekerja sebagai distributor sayuran dari petani yang kemudian disalurkan ke kota-kota seperti Bogor Jakarta Bekasi, sayuran tersebut ada yang masuk ke restoran-restoran ada juga yang masuk ke pasar-pasar. Selain distributor, bapak juga membuka satu toko sayuran dipasar, sayangnya selepas mamah wafat, bapak menutup toko sayurannya dengan satu dan lain alasan, alih-alih toko tersebut sekarang dikelola oleh saudara mamah. Memasuki tahun ke 7 pasca mamah wafat, banyak sekali kejadian-kejadian yang benar-benar membuat bapak jungkir balik bukan kepalang. Disitu juga mulailah kesan dengan sikapku terhadap bapak tumbuh. Aku bukanlah anak perempuan yang akrab dengan sosok bapak karena dari dulu menempel sekali dengan mamah, sehingga selepas mamah wafat aku aga kesusahan dalam setiap hal saat harus mengutarakan apapun pada bapak. Cerita-cerita tentang bapak jarang sekali aku dengar langsung dari beliau—sudah kubilang bapak tipikal orang yang sedikit bicara. Kebanyakan orang disekelilingku bilang bapakku hebat, bertahan seorang diri selama 7 tahun terakhir dengan mengurusi 4 orang anak—iyaa bapak belum ingin menikah lagi, katanya. Aku tau betul, yang dipikiran bapak selama ini hanya kebahagian anak-anaknya saja, meskipun tak jarang kami justru malah lalai mengurusi bapak. Bapak itu punya keyakinan yang kuat, pernah ketika aku sedang kebingungan saat di perantauan bapak mensehati 'jika belum sampai pada waktunya, manusia hanya bisa berikhtiar dan bertawakal terus dan terus', katanya. Meski tak banyak bicara dia mengajarkan kami bagaimana sikap gigih pada setiap apa yang sudah kami pilih, tangguh agar tidak melulu mengeluh, sabar, dan yang paling penting rasa tanggungjawab. Ini pelajaran paling mahal yang kutemukan dari bapak dan tak hanya ia tuturkan lewat perkataan malah justru aku temukan lewat perbuatan. Aku sungguh melihat bapak sebagai sosok yang penuh dengan rasa tanggungjawab.
  Selama quarantine day dan himbauan pemerintah untuk tetap #dirumahaja berjalan, aku semakin paham banyak kekeliruan yang selama ini salah kuartikan. Banyak ego yang seharusnya kudobrak duluan. Kalian hanya perlu memaklumi, aku bukanlah anak yang sering menghabiskan banyak waktu dirumah untuk waktu yang terbilang lama. Setelah lulus aliyah yang juga aku tempuh dengan merantau, kuliahpun juga aku tempuh demikian. Bapak juga  jarang sekali menginzinkan aku untuk pulang dengan alasan akan memakan banyak waktu dan menghabiskan jam belajar—sedikit banyak aku selalu menyempatkan laporan  jika sedang ingin mengikuti berbagai kegiatan kampus, jadi bapak paham kuliah tak melulu tentang belajar di kelas. Waktu paling lama yang kuhabiskan dirumah hanya berkisar 1-2 bulan kurang saat liburan semester. Untuk itulah selama hampir 4 bulan dirumah dan menjadi rekor paling lama dirumah bikin aku sadar akan banyak hal. Khususnya sikapku yang cenderung kurang terbuka terhadap bapak.
  Meskipun bapak bukan tipikal ayah humoris seperti yang aku idam-idamkan selama ini, atau romatis seperti kebanyakan orang yang kukenal, kami sebagai anak merasa beruntung sekali masih memiliki luasnya hati beliau. Apalagi saat aku mendengar cerita teman-teman terkait ayah mereka yang tak jauh beda kisahnya seperti ayahku—ditinggal sosok istri, Aahh jika aku ingin sudah berapa puluh pujian dari mereka aku sampaikan untuk bapak. Semoga sehat selalu menyertai beliau, sabar menjadi teman setianya, dan semoga panjang dan berkah umurmu pak.

0 komentar