Malam tadi selepas tarawih, aku bergegas merapihkan tempat tidur, membersihkan sela-sela kasur dan bantal dengan sapu lidi, sedikit dipukul-pukul dengan harapan debu-debu yang menempel di atasnya bisa hengkang dan tidak mengganggu tidurku malam ini. Selepas merapihkan beberapa sudut ruang kamar dan beberapa barang yang setiap ingin beranjak tidur tak bisa ku abaikan berserakan bukan pada tempatnya, ku lanjut membawa diri menuruni setiap anak tangga rumah menuju lantai satu dan berhenti persis di depan kamar mandi. Ya, rutinitas sebelum tidur, harus bersih-bersih.
Rasa kantuk yang tadinya sudah di ujung sadar saat melaksanakan tarawih, tiba-tiba hilang seketika saat air dingin mulai merembas ke tiap permukaan kulit wajahku, membangunkan saraf-saraf di area mata dan sekitarnya, memulihkan setengah kesadaranku yang hampir hilang karena kantuk. Ah segar.
Hal ini tentu berbeda dengan saat-saat aku bergegas merapihkan tempat tidur agar bisa segera terlelap dengan harapan dibuai mimpi indah sesegera mungkin. Air dingin khas malam hari membawa kembali kesadaranku. Kesadaran yang membawaku pada barisan buku di sudut kamar, tergoda menghampirinya, mungkin sedikit membaca bisa kembali membawa rasa kantukku, gumamku dalam hati.
Akhirnya ku putuskan memilih buku bergenree novel dengan tebal halaman sekitar 130 halaman. Lumayan untuk sekedar jadi alasan menunggu rasa kantuk menyerang, alasan lain memilih buku ini sudah pasti karena ‘sepertinya” ringan di baca, setidaknya tubuhku yang sejujurnya sudah merasa sedikit lelah bisa sedikit lebih santai menerima bahasan sederhana dan tidak terlalu menguras otak berlebih untuk memahaminya.
Ipung judulnya. Buku ini dulu aku dapatkan sekitar tahun 2013, bertepatan saat menghadiri sebuah acara seminar bedah buku. Buku yang aku dapat sebagai hadiah selepas mengajukan sebuah pertanyaan di acara tersebut, entah pertanyaan macam apa pula yang ku ajaukan saat itu, lupa.
Di halaman pertama ku tulis namaku sebagai pemilik buku tersebut, lengkap beserta tanggal saat mendapatkannya dan dibumbui dengan sedikit goresan kata “Kenangan seminar kang Abik” yang dicap dengan tanda tangan rumit, terkekeh geli melihatnya, melihat tanda tanganku di sana tentunya, panjang dan ribet.
Buku Ipung menceritakan tentang seorang murid sekolah bergengsi di Semarang. Ia yang memiliki popularitas di sekolahnya karena keberaniannya. Keberanian yang sepadan dengan kecerdasan bakatnya, bakan mengolah kata-kata, bakat menyelesaikan persoalan, bakat yang pesonanya menyihir setiap mata dari berbagai kalangan, muda, dewasa, hingga yang lanjut usia. Ia yang memiliki bakat untuk di cintai, ya kecuali wajahnya. Wajahnya, yang sebenarnya tidak terlalu buruk tapi jika dibandingkan dengan anak-anak murid di sekolah itu yang mayoritas adalah anak-anak orang kaya dengan penghasilan yang menggila, tentu ia yang hanya berasal dari sebuah desa kecil di sebrang sana nyaris tidak ada apa-apanya. Namun hanya itu kekurangan yang terlihat di kehidupannya. Bukan Ipung namanya jika ia yang terkenal seantero Budi Luhur karena ketidaklaziman keberadaannya justru tidak disenangi oleh para gadis, para guru hingga kepala sekolah, bahkan sampai pada Douglas, sahabat besarnya yang berprofesi sebagai satpam sekolah. Yang paling membuat iri para teman kaya nya adalah sosok para gadis yang terang-terangan menyukainya, tak terkecuali Paulin. Paulin si bintang paling terang di sekolahnya.
Laju jam menunjukan pukul 23. 00 WIB, kantukku belum kunjung tiba, sepertinya aku bisa membabat habis buku ini dalam semalam, pikirku. Akhirnya dengan sedikit pertimbangan ku putuskan untuk menyelesaikannya malam ini saja. Sepanjang ini, bagian seru versiku dalam buku ini belum kunjung terlihat, hal itu membuatku penasaran tentunya karena jika melihat sekilas beberapa pujian untuk Mas Prie di novel ini seperti menyimpan satu ledakan tentang sosok Ipung. Ledakan yang sepertinya sederhana, namun dalam.
Menurutku, kisah cinta Ipung dan Paulin hanya sebatas latar pelengkap kisah cinta romantis ala-ala remaja di novel ini. Alur ceritanya biasa saja. Sederhana dan ringan. Jauh dari kisah cinta sejati khas tokoh-tokoh besar. Meski dibalut kisah cinta yang sedikit menoreh kepahitan, jauh di dalam cerita ini ada kesederhanaan yang penulis sampaikan tentang pembelajaran hidup. Ya, lewat tokoh Ipung. Keberanian yang menjadi modal utama untuk melangkah sedikit lebih maju. Mengelola bakat yang nyatanya turut andil menjadi penghantar manusia menghadapi persoalan hidup. Menjelma sosok Ipung, manusia dengan segala keterbatasan sosialnya namun tetap digemari banyak orang.
Bagian 11 dalam kisah ini sedikit menyihir naluri perempuanku yang mengharapkan bisa bertemu dengan sosok Ipung di kehidupan nyata. Ipung yang ditulis mas Prie dengan pola pikirnya yang sedikit tidak wajar dari kebanyakan orang. Namun siapa sangka itulah daya tariknya. Misterius dan penuh tanda tanya, dilengkapi bakat kata-kata yang ia punya. Bakat negosiasi yang menjadi nilai tambah kecerdasan berpikirnya dalam menyelesaikan setiap persoalan sederha. Perempuan manapun pasti akan lemah dengan tutur kata ajaibnya. Sederhana tapi dalam.
Sayangnya, Ipung harus berpisah dengan Paulin di halaman terakhir buku ini. Ipung yang kerap menyadari bahwa Paulin ternyata ikut andil dalam segala ketidakladziman yang terjadi dalam kisah hidupnya. Ipung yang baru menyadari bahwa Paulin memang alasan dari nyali besar dalam dirinya. Ipung, seperti judulnya, cerita ini syarat makna melalui pemeran utamanya.
Ipung #2, April 2021.
Huaa akhirnya setelah sebulan penuh ga nengok laman blog, finally I’m back…
Berhubung waktu sudah menunjukan pukul 01.14 pagi, dan pastinya sudah memasuki tanggal 23 April yang sekaligus diperingati sebagai hari buku sedunia, kayanya aku mau sedikit cerita tentang buku yang baru saja rampung ku baca deh
Terhitung sekitar hari ke 3 di bulan Ramadhan tahun ini atau sekitar tanggal 15 April, aku berencana menyortir beberapa buku yang ada di bagian atas lemari bajuku. Biasanya buku yang aku taruh disana masuk ke dalam jenis buku pelajaran beberapa mata kuliahku. Tapi sepertinya aku ingin menggantinya dengan beberapa koleksi buku jenis novel atau jenis buku-buku memoir, puisi, dan beberapa buku bergenree self-help yang belum ku baca tapi belinya dari zaman kapan tau hehe. Akhirnya hari itupun aku mulai memilah milih.
Singkat cerita, saat memilah-milih mataku tertuju dengan salah satu buku karya guruku semasa di pondok dulu, Namanya Ust. Saiful Falah. Aku mengingat-ingat, kapan ya aku beli buku beliau yang diberi judul 0km ini. Ah, rupanya aku ingat buku ini diberikannya secara gratis sebagai bentuk cendera mata dari beliau karena dulu sempat diberi amanah mengisi sebuah acara di pondok.
Saraya pikiran melayang ke masa-masa di pondok, matakupun kembali menuai rasa penasaran setelah membaca tagline di bawah judul singkat itu dengan tulisan “perjalanan 3 benua 9 negara”. Sepertinya aku tertarik baca buku ini deh, berhubung aku juga lagi pengen banget baca tulisan motivasi gitu, pikirku.
Selepas merapikan buku-buku yang ku susun di bagian atas lemariku, akupun mulai membuka halaman pertama buku tersebut. Alhamdulillah tadi siang baru rampung ku baca secara keseluruhan.
Menurutku, buku tersebut sangat ringan dengan gaya bahasa yang sangat mudah dipahami, ceritanya pun beragam dengan latar belakang tempat yang juga demikian.
Di bagian pertama, kisah tersebut di mulai dari negeri Upin Ipin, ya Malaysia. Ada sekitar 5 kisah yang penulis paparkan di negeri ini. Bercerita seputar perjalanan beliau saat masih berumur 25 tahun. Di bagian ini menurut pendapatku masih belum terlalu asyik memang, karena hanya menjelaskan seputar kegiatan beliau saat diundang untuk ikut pelatihan kepemimpinan madrasah di sana, meski begitu tak dapat dipungki banyak pelajaran yang bisa kuambil dari perjalanan beliau di Malaysia ini.
Di bagian kedua aku dibawa loncat ke negeri Australia, ada sekitar 8 delapan kisah yang disuguhkan dengan latar tempat di negeri ini. Di bagian ini aku mulai sedikit tertarik dengan beberapa budaya Australia, meski di sini penggambaran tentang Australia itu sendiri, masih kurang detail dijelaskan. Tapi jangan salah, setelah membaca buku ini aku jadi sedikit tahu bagaimana usaha seorang muslim mencari makanan halal di Australia, meski ujungnya pilihan terakhir hanya memasak indomie hihi. Mudah-mudahan ada rezeki dan kesempatan ya untuk bisa terbang kesana (amin yang kenceng)
Lanjut ke bagian tiga, buku ini membawaku ke negeri Thailand. Sayangnya di bagian, tak banyak yang bisa ku jelaskan, entah saat membaca bagian ini aku sedikit mengantuk atau benar-benar sedang tidak fokus, yang jelas di negeri ini kesan yang ku dapatkan hanyalah sebatas gambaran besar saat penulis naik angot thai dan beberapa jamuan khas Patani yang diterima penulis. Kalo kalian kepo, bisa baca aja ya bukunya (hehe)
Selanjutnya ada negeri Singapore, Qatar, Saudi Arabia. Dari ketiga tempat ini yang menarik perhatianku adalah saat di Green Library Singapore dan Taj Mahal Jeddah Saudi Arabia. Aku memang selalu penasaran dengan penyediaan fasilitas perpustakaan di negara-negara maju. Green Library ini sebenarnya ada di dalam gedung National Library yang memiliki jumlah lantai sebanyak 16 tingkat dengan luas sekitar 103 M, sedang Green Library ini terdapat di lantai basement 1. Dari namanyanya saja sudah bisa di tebak konsep yang diterapkan di Green Library ini didominasi dengan warna hijau dengan hamparan menyerupai taman. Rak bukunya-pun unik karena di bentuk menyerupai batang pohon yang cabangnya mencakar atap. Dan pastinya di kisah ini masih banyak sekali hal unik lainnya. Bikin pengen kesana deh. Lain halnya saat di Jeddah, di kisah ini aku dibawa tenggelam dalam sejarah sepasang kekasih. Seorang suami yang teramat mencintai istrinya dan seorang istri solehah yang tidak serakah.
Selanjutnya penulis membawaku menjelajahi negeri Sakura, Jepang. Dan bagian ini adalah bagian paling menyenangkan versiku hihi. Setiap cerita di bagian ini mempunyai kesan tersendiri di kepalaku. Entah saat membaca kisah tentang nenek Noriko Matsuda yang usianya hampir kepala delapan tapi masih gesit dan semangat untuk bekerja sebagai tukang kebun, atau saat berbicara tentang sosok Mr. Ammar yang bekerja sebagai pemilik restoran Halal Food di Osaka sekaligus ketua Asosiasi halal di sana. Mr. Ammar ini mengedukasi orang Jepang terutama tentang penyembelihan hewan. Menurutnya banyak daging yang diklaim halal tapi cara penyembelihannya tidak sesuai dengan syariat Islam. Jadi masih banyak yang belum mengerti sepenuhnya tentang esensi halal itu sendiri. Menarik si menurutku. Intinya setiap cerita di Jepang berhasil membawa imajinasiku ikut terbang dan merasakannya langsung.
Negara kedua yang sangat melekat dikepalaku adalah Turki. Bagian dari cerita ini juga menyenangkan. Membaca setiap perjalanan di sana mengingatkakku pada impian 5 tahun silam, ketika impian menimba ilmu di negeri ini masih membara. Mendengar namanya saja seperti sudah terlitas keindahan kotanya, belum lagi jejak sejarahnya. Ah, ingin sekali menginjakan kaki di negeri ini. Bermain salju, berkunjung ke tiap sudut jejak- jejak sejarah Islam yang pada akhirnya bisa berjaya di sana berkat panglima terhebat, sultan Muhammad Al-fatih. Kisah di neberi ini mengajarkankku untuk lebih berani memperjuangkan impian.
Negeri terakhir adalah Indonesia, cerita di sini tentu sangat beragam. Ada sekitar 11 cerita, kalo pembaca penasaran silahkan di order ya bukunya hihi.
Selamat hari buku sedunia, mari sama-sama tingkatnya minat baca :)
Sabtu pagi di akhir februari tahun ini, sekitar pukul 10.00 WIB bus yang akan menemani perjalananku dan keluargaku kali ini rupanya sudah terlihat di area parkir yang menjadi meeting point kami. Selepas menyempatkan diri berziarah ke makam mamah di pagi hari, aku bersama kedua adik perempuanku mulai bergegas memasuki bus, memilih kursi kemudian menata barang bawaan kami. Semua sanak keluargaku sudah mulai memadati bus, kamipun mulai berangkat dan membuka perjalanan ini dengan membaca doa bersama-sama, memohon agar selama perjalanan ini diberi kemudahan dan selamat sampai tujuan. Perjalanan kali ini akan kami tempuh sekitar -+12 jam menggunakan bus dari Cianjur menuju kabupaten Tasikmalaya yang terkenal dengan salah satu situs peninggalan sejarah berupa goa alam dan makam waliyullah Syeikh Abdul Muhyi. Makam ini terletak di daerah Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya. Untuk menempuh perjalanan sekitar 12 jam ini sudah dipastikan bahwa setibanya disana hari sudah gelap. Hal ini sengaja direncanakan agar saat berziarah nanti tidak terlalu sesak dengan pengunjung, terlebih karena kondisi pandemi saat ini yang mengharuskan kami (dan kita semua) untuk terus menerapkan protokol kesehatan. Sesampainnya di Bandung, kami berhenti untuk menunaikan shalat dzuhur yang dijama taqdim dengan ashar, sekaligus mengisi perut yang sudah mulai meminta jatahnya, padahal saat dalam perjalanan segala macam makanan ringan masuk ke mulut dan dilahap dengan nikmat (wk). Sapanjang ini, jalanan masih terbilang lancar dan nyaman, paling hanya macet barang 15-20 menit di area rawan macet seperti saat memasuki tol Padalarang dan beberapa pusat perbelanjaan. Selepas menunaikan shalat kamipun melanjutkan kembali perjalanan menuju Tasik, sayangnya saat itu tak banyak yang bisa kuceritakan karena rupanya kantuk mulai menyerang kedua mataku, ditambah keadaan dalam bus yang terasa agak sedikit hening karena hampir semua kursi dipenuhi oleh lautan mimpi anak adam (wk), maklum habis makan. Daah bobo dulu.
Waktu menunjukan pukul 17.00 WIB, aku terbangun dari tidurku dikarenakan sebuah insiden kecil yang mengharuskan kami semua untuk turun. Saat kulihat sekeliling rupanya sudah memasuki daerah Tasik, seingatku namanya daerah Ciawi. 10 menit sudah berlalu, kamipun melanjutkan perjalanan dan berhenti di masjid daerah Raja Polah untuk menunaikan sholat Magrib dan bersiap untuk menyantap makan malam. Langit sudah gelap, setengah jam sudah berlalu, kamipun bergegas menaiki bus dan kembali duduk dikursi masing-masing. Di dalam bus, beberapa dari kami bercengkrama sambil sesekali menertawakan film lucu yang sedang diputar, sebagian lainnya adapula yang tertidur. Biasanya, saat melihat jalanan malam terasa menyenangkan bagiku tapi karena kondisi sekitar jalan yang sangat minim lampu dan terasa sedikit berliuk-liuk, hal ini justru membuatku sedikit bosan dan kembali merasakan kantuk. Akhirnya kuputuskan untuk kembali memejamkan mata. Pukul 10 malam lewat beberapa menit akhirnya sampai, beberapa sanak saudara mulai saling mengingatkan agar bersiap-siap untuk turun, memeriksa kembali barang-barang berharga seperti dompet, hp, atau sejenisnya yang baiknya dimasukan kedalam tas yang akan dibawa. Kamipun turun, dimulai dengan bismillah memulai berjalan kaki menuju makam terlebih dahulu yang dikepalai oleh paman kami selaku pemandu wisata rohani kali ini hihi. Untuk sampai ke makam Syekh Abdul Muhyi, kami menempuh sekitar kurang lebih 600-700 meter dengan berjalan kaki. Meski begitu, berjalan disana sangat tidak terasa karena disamping kanan kiri kami, banyak sekali pusat perbelanjaan yang siap memanjakan mata juga bisa dijadikan oleh-oleh khas setempat.
Waktu menunjukan pukul 23.00 atau sekitar pukul 11 malam, sampailah kami di depan gapura yang yang bertuliskan “Selamat Datang di Makam Waliyullah Syekh Haji Abdul Muhyi Safarwadi di Pamijahan” di ujung jembatan berwarna putih hijau. Setalah melalui gapura tersebut, kami masih harus melewati beberapa anak tangga untuk sampai ke bangunan persegi panjang menyerupai rumah. Oh iya sebelum memasuki kawasan makam, alangkah lebih baiknya mengambil air wudhu terlebih dahulu. Di sekeliling tangga menuju bangunan terdapat kurang lebih 24 makam keluarga yang tidak terlalu menonjol. Terlebih saat itu kondisi agak sedikit gelap, membuat makam-makam di sekeliling tangga tidak terlalu terlihat. Setibanya di muka bangunan, di semua sudut dan ruang bangunan terdapat makam-makam yang berjumlah 11 makam dan tepat di bagian tengah bangun itu terdapat satu makam yang ditutupi oleh dinding dan beberapa gerbang yang digembok yang menjadi makam utama. Ada sekitar 6-7 peziarah lainnya yang terlihat di dalam bangunan saat itu, syukurlah tidak terlalu ramai saat kami sampai. Ziarah kali ini dipimpin oleh Om ada, salah satu paman kami. Sambil mengikuti tiap lapadz yang dilafalkan, kamipun hanyut dalam kekhusyuan. Oiya, perlu ditekankan ya, niat berziarah itu bukan untuk berdoa kepada yang wafat dalam artian ini Syekh Abdul Muhyi, tetapi berdoa hanya kepada Allah dengan wasilah Sang Waliyullah.
Sekilas mengenai Syeikh Abdul Muhyi beliau adalah putra keluarga bangsawan melalui seorang ibu yang bernama Ny. R. Ajeng Tanganjiah yang merupakan keturunan dari Raja Galuh (Pajajaran). Syeikh Abdul Muhyi lahir di Mattaram sekitar tahun 1650 M/1071 H. Beliau dibesarkan di Ampel/Gresik dan hidup dengan kedua orangtuanya sekaligus berguru kepada para ulama-ulama yang berada di Ampel. Dengan niat menimba ilmu lebih luas lagi, merantaulah beliau dari Ampel menuju Aceh diusianya yang masih 19 tahun untuk berguru kepada Syekh Abdul Rauf bin Abdul Jabar, seorang sufi dan guru tarekat Shattariyyah. 8 tahun mempelajari ilmu agama di Acah, saat menginjak usia 27 tahun, beliau beserta teman satu pesantrennya dibawa berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Jaelani di Bagdad oleh gurunya dan bermukim selama kurang lebih 2 tahun untuk menerima ijazah ilmu agama Islam. 2 tahun sudah mereka bermukim di sana, dan dibawalah mereka ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Selepas kepulangannya dari Mekkah, Syekh Abdul Rauf yang menjadi guru beliau menyampaikan pesan dan meminta Syekh Abdul Muhyi segera pulang dan mencari sebuah gua di bagian barat pulau Jawa untuk menetap dan bermukim. Menurut pemaparan AA Khaerussalam dalam bukunya Sejarah Perjuangan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, Syekh Abdul Rauf pada saat menunaikan ibdah haji di Mekkah mendapatkan ilham yang konon diantara para santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Pada ilham itu, dinyatakan bahwa tetika tanda-tanda itu telah tampak segeralah ia sampaikan untuk memintanya pulang dan mencari sebuah gua di daerah jawa bagian barat untuk menetap. Tanda-tanda tersebut rupanya tertuju pada Syekh Abdul Muhyi bahkan saat masih berada di Mekkah. Begitulah sedikit kisah tentang Syeikh Abdul Muhyi yang akhirnya mulai menyebarkan agama Islam di daerah Garut Selatan yang pada saat itu mayoritas penduduknya masih memeluk agama Hindu. Perjalanan beliau dalam menyebarkan ajaran Islam tak hanya sebatas di daerah Jawa Barat saja, tapi juga sampai ke pelosok-pelosok kampung halaman beliau. Tak heran, saat ia wafat di usia 80 tahun, para pengikutnya baik yang dekat maupun jauh saling berdatangan untuk mengunjungi makam beliau di Pamijahan dengan penuh rasa duka.
to be continue yaaa
Sewaktu fajar nyaris tiba
Ku nanti kamu
Sepasang mata yang hilang
Menebus janji pulang
Menghitung hari
Mengulang lakon diri
Memecah sunyi
Di bait-bait puisi ini
Pertemuan bagai bahasa kebohongan
Rindu bagiku hanyalah kecurangan
Tentang bagaimana jarak terhalang signal
Waktu di dalam celengan
Seperti mabuk yang membuat pengar
Sedang rinduku hampir tanggal
Tapi kau tak kunjung tinggal
( Cianjur, 16 Oktober 2020)
Pagi ini kau ada
Di sekelebat benda-benda
Sesaat sedang ku cari sisir—sisirku dikepala
Sisir berwarna biru kesayangan
Mengatur halus rambut yang awut-awutan
Helai demi helainya bak berisi kenangan
Seperti kau tengah menyimak kesedihan
Di ujung hati yang keruntang-pungkang
Mengenang kau yang pergi tanpa kabar
Sedang burung pelatuk raba-rubu
Memecah hening di subuh nan dingin
Pagi ini kau ada
Sesaat sedang ku cari gelas—gelasku di meja
Kepulan kopi panas menari diudara
Di seduh dengan sedikit sedih yang tak kunjung sudah
Beriring rindu yang hendak tumpah
Ku intip bumantara
Langit malu-malu wajahnya
Perlahan dilahap pendar baskara
Biru bergurat orange di pelupuk mata
Pecah, kerinduan anak adam ini muskil terasa
Pagi ini kau ada
Ku pungut kepingan rindu—Rinduku di kaca-kaca jendela
Sesaknya tetap di dada
Ia juga mengudara
Nyaris tak kenal rehat rupanya
Malam ini, kembali harap di kening seorang gadis yang hendak menarik selimutnya
Saban katanya riang menakhlilkan untaian kalimat yang genap diselimuti shyam
Ah, seperti malam-malam sebelumnya, ini masih sangat sama seperti biasanya, dingin bukan kepalang
Sedang jiwanya menunu bagai anala yang berkobar menuai percikan
Gelora yang nyaris tampak jelas lewat pesonanya disela-sela malam, lampu dan cahaya bulan
Hari ini, mungkin ia lalui dengan berlega hati dan rasa riang
Ah ya, sepanjang ini sudah banyak pengaduan yang diam-diam ia mohonkan dengan menadahkan kedua tangan ditiap malam
Tentu, saat hendak menarik selimut
Aku hampir lupa siapa diriku, setelah beberapa hari kubaringkan tubuh diatas ranjang sembari melamuni beberapa benda-benda berdebu yang tinggal, berikut impian yang hampir tanggal
Aku hampir lupa siapa diriku, saat udara dingin tetap bersikeras menyelinap disela-sela selimut dan malamku, namun tak kunjung juga kutemui kosa kata baru
Aku hampir lupa siapa diriku, saat kebisuan serupa penyakit yang menyerang sebagian isi kepalaku
Aku hampir lupa siapa diriku, saat beberapa langkah tetap keras kepala kujajaki, terseok tersungkur, terbentur, terbentuk lagi
Aku hampir lupa siapa diriku, saat alfa dalam do'a yang kupanjatkan teruntuk tubuh yang harus tetap ku kasihi dengan segala lebih dan kurangnya ini
Kini aku harus ingat kembali siapa diriku, bahwa perempuan harus lihai menyayangi diri sendiri, Ia harus pandai memeluk diri sendiri, cerdas memaafkan kealfaan diri, berbaiksangka pada setiap sulit yang nanti akan ia arungi kembali
Derita gadis menyanyat mengiris
Elokan nasib bagai tak digubris
Sorakan cita-cita hanya ilusi semata
Tanah jawa, toleh adat belaka
Kartini kecewa
Gadis-gadis dipenjara terlalu lama
Dunianya hanya sebatas tembok rumah
sempit nan gelap pula
Kebodohan merajalela
Gadis-gadis tak punya kuasa
Dipingit dimadu mengais pasrah jiwa
Kartini mengaduh
mengayuh harapan untuk puan-puan jawa
Merongrong cahaya di fajar mendatang
Agar puan tetap jadi manusia yang
dimanusiakan
Kau srikandi
Ayu bertopeng berani
Priayi bertopeng mandiri
Wanita inspirasi yang sejati
Terhitung 5 hari sudah, pikiran lagi ganentu banget arahnya kemana. Drama hati sama pikiran yang kadang ga sinkron rasanya makin ramai (ckck). Biasanya jika sedang diposisi mumet seperti ini, aku lebih sering di kamar, ngerjain beberapa kerjaan di kamar, alih-alih jika ada yang mengajak keluar untuk sekedar cari angin atau ngelakuin kegiatan di luar barulah mau ikut, jika tidak, aku bukan termasuk orang nekat yang bisa pergi dan enjoy kemana aja sendirian tanpa tujuan (ckck).
Well, Sekitar pukul 7 malam yang lebihnya entah berapa menit, Ridwan ngetuk pintu kamar. Dengan tidak ada tujuan lain selain bilang "mau ikut naik gunung ga?", Selain kaget, aku juga sedikit antusias dengan menanyakan beberapa pertanyaan seperti kapan, kemana, perempuanya siapa saja dan bagaimana teknisnya.
Ia menjawab singkat, besok lusa, ke Gunung Baud sambil sesekali menunjukan foto dan lokasinya, adapun dengan siapanya ia menjawab "kalo jadi kita berangkat 12 orang, 4 perempuan, 8 laki-laki" yang kesemua itu tak lain dari teman adikku. Pikirku waktunya sangat mepet, akhirnya aku hanya bilang nanti ku kabari lagi.
Setelah memikirkan banyak hal, aku memutuskan untuk ikut dengan syarat adik perempuanku juga ikut, melihat yang justru lebih antusias dengan perjalanan ini dia, bukan aku, dan rasanya aku sedikit kasihan jika tidak mengajak, lagipula pikirku dia terhitung bukan anak kecil lagi setelah genap 17 tahun di bulan Juli ini, jadi rasanya dia juga bisa paham kondisi dan gambaran naik gunung seperti apa. Selain itu aku yakin bapak juga tidak akan begitu saja memberi izin, terlepas dulu aku pernah memberanikan diri minta izin naik gunung bersama teman-teman dan hasilnya malah dinasehatin bukan kepalang, bukan tidak nantinya saat adik perempuanku penasaran dilain waktiu dan diapun meminta izin untuk itu, hasilnya akan sama sepertiku, jadi kupikir kesempatan ini bisa jadi pengalaman untuk dia nantinya, mengingat alasan paling kuat bapak akan mengizinkan kami sepertinya karena adanya ridwan, saudara laki-laki kami. Dan benar saja, bapak mengizinkan meskipun harus sedikit memohon.
Keesokan harinya, aku mengecek beberapa hal yang semestinya disiapkan, sedikit me-list beberapa perlengkapan lagi. Beberapa baju, camilan ringan, mie dan bihun instan, jaket tebal, kain, sikat gigi, dll tak lupa kumasukan. Terlepas dari secarik kertas yang berisi list keperluan, rupanya point penting yang juga harus kubenahi adalah mental. Agak sedikit drama si di bagian ini, tapi jujur perihal beberapa tantangan di gunung—yang kalian taukan itu gunung asing banget di kuping (ck), bahkan sampai ajang menginap di alam terbuka masih jadi hal yang aga sedikit horor dikepalaku. Pikiran-pikiran aneh tak jarang muncul, contohnya " kalo ketemu hewan buas harus gimana ya, bahkan sampai terlintas kalo aku gabisa tidur dan pasti sepi banget di gunung gimana ya ckck?" padahal berangkat saja belum lohh (dasar aku).
Kami berkumpul di point meeting selepas sholat dzuhur, ada info baru bahwa yang jadi ikut hanya 10 orang. Aga sedikit sedih si, karena jumlahnya berkurang. Rencana awal kami mulai mendaki sekitar pukul 13.00 WIB, tapi sayangnya ada beberapa kendala yang akhirnya pemberangkatanpun terpaksa tertunda sampai pukul 15.00 WIB. Sudah bisa dipastikan, kami masih dalam perjalanan saat gelap sudah tiba.
Cuaca saat itu sangat terik sekali, sedikit menyengat dikulit meskipun sudah memakai baju berlapis, tak jarang debu jalanan juga ikut membuat mata sedikit menahan rasa perih. Meski begitu, syukurlah angin sepoy-sepoy masih bisa kami nikmati, masih lumayan dibanding harus bercucuran keringat. Aku dan adik perempuanku menunggu di warung kecil, tempat orang-orang melepas lelah setelah turun atau bagi mereka yang sedang bersiap-siap untuk naik, seperti kami. Disamping itu, anggota lainnya masih sibuk mengecek beberapa perlengkapan. Waktu sudah menunjukam pukul 3 sore, kamipun memutuskan untuk berangkat. Langit nampak teduh, perkiraan kami sepertinya tidak akan hujan. Doa bersamapun kami panjatkan, semoga senantiasa selalu dalam lindungan Tuhan dimanapun kami berada. Langkah mulai kami awali, suasana hutan mulai kami nikmati.
Aku lanjut nanti ya (hehe)
Dengan sedikit memberanikan diri aku memutuskan menulis cerita ini. Meskipun merasa sedikit kebingungan harus kumulai dari mana. Jadi jika dipertengahan cerita ini dirasa aga sedikit loncat-loncat alurnya, tolong dimaklum. Menulis tentang sosok bapak apalagi mamah selalu membuatku merasa cacat karena sulit sekali mendeskripsikan cinta kasih keduanya, rasanya tidak ada kata apapun yang mampu menggambarkan perjuangan dan kasih mereka yang begitu damai, cinta mereka yang begitu besar, keringat mereka yang tak hentinya bercucuran, dan ahh lagi-lagi sungguh tidak ada kata apapun yang mampu mendeskripsikan peluh dan dekap mereka. Tapi dengan segala kurang ini, aku ingin sekali menemukan cerita mereka di sisa waktu yang entah sampai kapan akan utuh seperti ini. Kali ini tentang Bapak.
Semua orang yang mengenal bapakku pasti sudah tau tabiat dan sifat beliau seperti apa. Meskipun sedikit sekali kata-kata yang keluar dari lisannya, tapi aku tau betul banyak kasih yang beliau pendam dan lebih ia tunjukan lewat perbuatan dan kerja kerasnya selama ini. Iya, adalah orang pertama yang tak pernah kuragukan akan kerja kerasnya. Lain halnya dengan yang orang yang belum pernah bertemu dengan beliau, jika mereka melihat bapak lewat secarik foto, kebayakan pasti mengatakan bapak seram karena punya kumis yang lumayan tebal, perawakan yang terbilang cukup tinggi dengan badan besar dan kulit sawo matang. Teman-teman sd-ku dulu selalu bilang pak raden, karena mirip sekali dengan salah satu tokoh di serial "si uyil ini", katanya. Ciri khas yang paling melekat di bapak ialah selalu menggunakan jaket kulit, jika tidak sudah dipastikan yang ia pakai adalah jaket loreng army. Beliau senang sekali mengoleksi berbagai macam jaket—selain mengoleksi barang² antik semacam batu giok (tapi ini dulu sekali). Oia selain jaket ciri khas lain yang melekat dibapak juga sering dipanggil pak haji padahal belum haji 😂, Pak haji misbah mau kemana? begitu biasanya.
Bapak terbilang orang yang tegas meskipun sesekali keras, tapi perlu digaris bawahi tegas dan keras bukan berarti kasar ya. Bapak tegas dan keras hanya pada prinsip dan omongannya. Meskipun demikian aku tau bapak berhati lembut, hanya saja beliau sangat pandai menyembunyikan perasaaanya dihadapan kami. Beliau jarang sekali menangis, kecuali beberapa kali ketika aku pergoki sesaat setelah selesai menunaikan sholat, atau saat-saat kepergiaan mamah, itupun hanya sebentar karena tau jika ia menangis bukan tidak mungkin kami sebagai anaknya akan mencontoh yang demikian. Moment bapak menangispun jadi kejadian yang sangat langka terlihat. Aku hanya akan bercerita tentang bapak yang sekarang, bapak yang selepas kehilangan mamah.
Sekitar awal 2014 lalu, mamah wafat karena penyakit yang diidapnya. Saat itu aku benar-benar terpukul karena harus kehilangan sosok mamah diusia sekitar 17-an itu. Bapakpun pasti demikian, apalagi jika mengingat adik terakhirku yang masih sangat kecil, baru sekali menginjak usia 3 tahun. 4 tahun sudah aku menjalani hari-hari di pondok pesantren dan jarang bertemu mamah karena setiap dijenguki mamah jarang sekali ikut. Kata bapak, kasian pasti akan capek sekali karena mamah tipikal istri yang jarang sekali keluar rumah dan melakukan berbagai macam aktivitas diluar rumah. Bapak memang perhatian. Keseharian mamah hanya mengurus anak-anak atas keinginan bapak. Sesekali juga mengurusi administrasi pengeluaran dan pemasukan usaha bapak. Sempat juga beberapa kali mencoba berjualan aneka kue dan cemilan ringan dari rumah, tapi itupun dibuat ketika memang ada pesanan saja—kebetulan saat itu bapak punya pegawai yang biasa membantu urusan transportasi barang dagangan. Bapak bekerja sebagai distributor sayuran dari petani yang kemudian disalurkan ke kota-kota seperti Bogor Jakarta Bekasi, sayuran tersebut ada yang masuk ke restoran-restoran ada juga yang masuk ke pasar-pasar. Selain distributor, bapak juga membuka satu toko sayuran dipasar, sayangnya selepas mamah wafat, bapak menutup toko sayurannya dengan satu dan lain alasan, alih-alih toko tersebut sekarang dikelola oleh saudara mamah. Memasuki tahun ke 7 pasca mamah wafat, banyak sekali kejadian-kejadian yang benar-benar membuat bapak jungkir balik bukan kepalang. Disitu juga mulailah kesan dengan sikapku terhadap bapak tumbuh. Aku bukanlah anak perempuan yang akrab dengan sosok bapak karena dari dulu menempel sekali dengan mamah, sehingga selepas mamah wafat aku aga kesusahan dalam setiap hal saat harus mengutarakan apapun pada bapak. Cerita-cerita tentang bapak jarang sekali aku dengar langsung dari beliau—sudah kubilang bapak tipikal orang yang sedikit bicara. Kebanyakan orang disekelilingku bilang bapakku hebat, bertahan seorang diri selama 7 tahun terakhir dengan mengurusi 4 orang anak—iyaa bapak belum ingin menikah lagi, katanya. Aku tau betul, yang dipikiran bapak selama ini hanya kebahagian anak-anaknya saja, meskipun tak jarang kami justru malah lalai mengurusi bapak. Bapak itu punya keyakinan yang kuat, pernah ketika aku sedang kebingungan saat di perantauan bapak mensehati 'jika belum sampai pada waktunya, manusia hanya bisa berikhtiar dan bertawakal terus dan terus', katanya. Meski tak banyak bicara dia mengajarkan kami bagaimana sikap gigih pada setiap apa yang sudah kami pilih, tangguh agar tidak melulu mengeluh, sabar, dan yang paling penting rasa tanggungjawab. Ini pelajaran paling mahal yang kutemukan dari bapak dan tak hanya ia tuturkan lewat perkataan malah justru aku temukan lewat perbuatan. Aku sungguh melihat bapak sebagai sosok yang penuh dengan rasa tanggungjawab.
Selama quarantine day dan himbauan pemerintah untuk tetap #dirumahaja berjalan, aku semakin paham banyak kekeliruan yang selama ini salah kuartikan. Banyak ego yang seharusnya kudobrak duluan. Kalian hanya perlu memaklumi, aku bukanlah anak yang sering menghabiskan banyak waktu dirumah untuk waktu yang terbilang lama. Setelah lulus aliyah yang juga aku tempuh dengan merantau, kuliahpun juga aku tempuh demikian. Bapak juga jarang sekali menginzinkan aku untuk pulang dengan alasan akan memakan banyak waktu dan menghabiskan jam belajar—sedikit banyak aku selalu menyempatkan laporan jika sedang ingin mengikuti berbagai kegiatan kampus, jadi bapak paham kuliah tak melulu tentang belajar di kelas. Waktu paling lama yang kuhabiskan dirumah hanya berkisar 1-2 bulan kurang saat liburan semester. Untuk itulah selama hampir 4 bulan dirumah dan menjadi rekor paling lama dirumah bikin aku sadar akan banyak hal. Khususnya sikapku yang cenderung kurang terbuka terhadap bapak.
Meskipun bapak bukan tipikal ayah humoris seperti yang aku idam-idamkan selama ini, atau romatis seperti kebanyakan orang yang kukenal, kami sebagai anak merasa beruntung sekali masih memiliki luasnya hati beliau. Apalagi saat aku mendengar cerita teman-teman terkait ayah mereka yang tak jauh beda kisahnya seperti ayahku—ditinggal sosok istri, Aahh jika aku ingin sudah berapa puluh pujian dari mereka aku sampaikan untuk bapak. Semoga sehat selalu menyertai beliau, sabar menjadi teman setianya, dan semoga panjang dan berkah umurmu pak.
Semenjak quarantine day yang terhitung sudah memasuki bulan ke empat ini, memang gabisa dipungkiri beberapa pola hidup aga sedikit bergeser karena banyak aktivitas yang aku—dan kita lakuin hanya #dirumahaja. Selain pola makan yang jadinya gakaruan, pola tidur juga rasanya malah makin ga kekontrol menurutku. Entah ada management waktu yang ketuker gitu aja karena dilakukan terus menerus dan tanpa kerasa malah jadi kebiasaan, atau memang akibat dari terlalu banyak gabut mau ngapain lagi setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah dan akhirnya dijadikan waktu untuk sekedar makan, rebahan, dan leha-leha aja selama dirumah karena gaboleh keluar rumah. Dari kesemua waktu yang bergeser itu, yang paling membuatku risau adalah jam tidurku yang malah jadi point penting yang harus sesegera mungkin kuatasi tapi sudah diujung bingung, malah sempet terbesit apa harus minun suplemen yang efek sampingnya bikin rasa kantuk menyerang ya agar bisa tidur pules.
Perihal insomnia ini sebenernya udah aku rasain saat masuk semester 5 masa kuliahku. Sebelumnya jam tidurku tak pernah lebih dari jam 9 malam—kecuali memang ada pekerjaan yang harus aku selesaikan dengan segera, alih-alih bisa bangun dengan mata segar sekitar pukul 4 pagi atau setengah jam sebelumnya. Selain kebiasaan ini aku bawa dari pondok, selepas tamat pesantren di rumahku juga selalu menerapkan sistem bangun tidur pukul 4 pagi, karena semua orang di rumah harus siap-siap pergi kerja. Terutama nenek dan kakekku, mereka biasa pergi ke pasar selepas subuh karena harus membuka toko dan berjualan hingga pukul 3 sore. Sementara dua pamanku pergi pukul 6-7 pagi untuk menyusul kakek dan nenekku berjualan. Oia, selepas tamat sekolah aliyah dan sempat kuliah sambil mengajar selama kurang lebih setahun, aku memang lebih sering pulang kerumah nenek. Tidak ada alasan kuat saat itu, hanya ingin saja karena selepas mamah gaada, di rumah bapak jarang sekali ada orang selain bapak dan adik lelakiku, sementara adik perempuanku juga masih sekolah di pondok pesantren. Itulah kenapa aku lebih sering berada dirumah nenek saat pulang dari kesibukan kuliah dan mengajarku. Setelah satu tahun berlangsung, rupanya tipikal diriku yang memang senang mencoba hal baru memaksaku berhenti mengajar dan akhirnya mencoba kembali merantau. Kebetulan saat itu rasanya ingin sekali merasakan dunia pendidikan yang baru, akhirnya aku putuskan untuk mencoba daftar kuliah di Jakarta dan alhamdulilah hasilnya baik. Disinilah pola hidup baru dan kebiasaan baru juga tumbuh yang mengharuskanku untuk hidup lebih mandiri lagi di tempat baru yang kusebut kosan.
Kuliah di swasta dan negeri itu benar-benar beda menurutku, tanpa niat membeda-bedakannya dari segi baik dan kurang baiknya, yang ingin kusampaikan di sinilah hanyalah perihal kuliah di negeri ini membuatku harus berjuang lebih extra dari sebelumnya. Hal ini sudah dipastikan sangat mempengaruhi jam makan dan juga istirahatku. Karena menyelesaikan setumpuk tugas yang setiap minggunya pasti ada saja yang harus dikumpulkan, akhirnya gajarang malah jadinya sering begadang. Apalagi saat awal-awal masuk kuliah, aku sangat semangat mengikuti berbagai macam kegiatan intra kampus, seminar-seminar, ikut serta dalam rumpun kepanitian, himpunan mahasiswa jurusan, dan organisasi seni di kampus seperti training paduan suara PSM UIN Jakarta yang berlangsung kurang lebih 7 bulan dan lainnya. Tapi kesemua itu memang kembali pada pilihanku, jadi aku tidak pernah sama sekali menyalahkan atau menyesal pernah melalui itu semua, meskipun jam makan dan istirahatku jadi korbannya. Aku sungguh sangat menikmatinya.
Kembali ke jam tidurku. Meskipun melakukan berbagai macam kegiatan di luar ruangan, gajarang aku mengantuk di sela-sela aktivitas (hehe) untuk hal ini, bagiku jadi nikmat tersendiri, apalagi saat aktivitas di luar sudah rampung lalu pulang ke kosan dengan badan yang lumayan letih dan mata sudah berair karena keseringan nguap—issssssh bikin bobok jadi pules tau :))).
Dulu, jam bergadangku hanya kuat sampai pukul 12 malam—itupun pasti udah sepet banget mata, jarang sekali bisa lebih dari itu. Paling jika sangat mepet harus segera rampung, aku harus tidur dulu sebentar, barulah bangun dan bisa bergadang lagi sampai pagi, tapi ini sangat jarang terjadi si. Saat memasuki semester 5 aku jadi orang yang sering sekali bergadang. Sayangnya hal ini malah jadi kebiasaan sampai saat ini. Ada atau tidak ada tugas, aku hanya bisa tidur di jam-jam tengah malam. Tapi untungnya, aku masih bisa bangun pagi, sholat, siap siap, lalu berangkat kuliah. Paling siangnya aga sedikit mengantuk tapi masih bisa kuatasi.
Seiring jam kuliahku makin sedikit, tugas-tugas makin sedikit—welcome skripsweet, sayangnya jam tidurku masih belum berubah. Sedihnya saat masa pandemi seperti ini yang mengharuskan aku—dan kita, semua, untuk #stayathome—kebetulan sekali kondisi rumahku masih sangat sepiiiii banget, apalagi kalo malem, suara jangkrik di mana-mana. Hal ini malah jadi mimpi buruk buat aku pribadi. Aku penakut akut, makanya paling males kalo keinget atau denger cerita horor dan mistis mistis gitu. Parahnya selepas Ramadhan kemarin, aku baru bisa tidur di jam dua atau tigaa pagi, selalu—yaAllah aku risau banget bobok jam segini mulu. Mudah-mudahan setelah new normal ini, aku bener-bener bisa memperbaiki jam tidurku, kadang suka mikir kasian banget badanku cuma tidur 2-3 jam perhari—karena disiangnya aku gamau tidur takut malah seger malemnya :(((, sampai pernah di tahap googling kiat kiat agar pola tidur teratur 😌