Mas Prie GS dan Ipung #2

      Malam tadi selepas tarawih, aku bergegas merapihkan tempat tidur, membersihkan sela-sela kasur dan bantal dengan sapu lidi, sedikit dipukul-pukul dengan harapan debu-debu yang menempel di atasnya bisa hengkang dan tidak mengganggu tidurku malam ini. Selepas merapihkan beberapa sudut ruang kamar dan beberapa barang yang setiap ingin beranjak tidur tak bisa ku abaikan berserakan bukan pada tempatnya, ku lanjut membawa diri menuruni setiap anak tangga rumah menuju lantai satu dan berhenti persis di depan kamar mandi. Ya, rutinitas sebelum tidur, harus bersih-bersih. 

Rasa kantuk yang tadinya sudah di ujung sadar saat melaksanakan tarawih, tiba-tiba hilang seketika saat air dingin mulai merembas ke tiap permukaan kulit wajahku, membangunkan saraf-saraf di area mata dan sekitarnya, memulihkan setengah kesadaranku yang hampir hilang karena kantuk. Ah segar. 

Hal ini tentu berbeda dengan saat-saat aku bergegas merapihkan tempat tidur agar bisa segera terlelap dengan harapan dibuai mimpi indah sesegera mungkin. Air dingin khas malam hari membawa kembali kesadaranku. Kesadaran yang membawaku pada barisan buku di sudut kamar, tergoda menghampirinya, mungkin sedikit membaca bisa kembali membawa rasa kantukku, gumamku dalam hati.

Akhirnya ku putuskan memilih buku bergenree novel dengan tebal halaman sekitar 130 halaman. Lumayan untuk sekedar jadi alasan menunggu rasa kantuk menyerang, alasan lain memilih buku ini sudah pasti karena ‘sepertinya” ringan di baca, setidaknya tubuhku yang sejujurnya sudah merasa sedikit lelah bisa sedikit lebih santai menerima bahasan sederhana dan tidak terlalu menguras otak berlebih untuk memahaminya. 

Ipung judulnya. Buku ini dulu aku dapatkan sekitar tahun 2013, bertepatan saat menghadiri sebuah acara seminar bedah buku. Buku yang aku dapat sebagai hadiah selepas mengajukan sebuah pertanyaan di acara tersebut, entah pertanyaan macam apa pula yang ku ajaukan saat itu, lupa. 

Di halaman pertama ku tulis namaku sebagai pemilik buku tersebut, lengkap beserta tanggal saat mendapatkannya dan dibumbui dengan sedikit goresan kata “Kenangan seminar kang Abik” yang dicap dengan tanda tangan rumit, terkekeh geli melihatnya, melihat tanda tanganku di sana tentunya, panjang dan ribet.  

Buku Ipung menceritakan tentang seorang murid sekolah bergengsi di Semarang. Ia yang memiliki popularitas di sekolahnya karena keberaniannya. Keberanian yang sepadan dengan kecerdasan bakatnya, bakan mengolah kata-kata, bakat menyelesaikan persoalan, bakat yang pesonanya menyihir setiap mata dari berbagai kalangan, muda, dewasa, hingga yang lanjut usia. Ia yang memiliki bakat untuk di cintai, ya kecuali wajahnya. Wajahnya, yang sebenarnya tidak terlalu buruk tapi jika dibandingkan dengan anak-anak murid di sekolah itu yang mayoritas adalah anak-anak orang kaya dengan penghasilan yang menggila, tentu ia yang hanya berasal dari sebuah desa kecil di sebrang sana nyaris tidak ada apa-apanya. Namun hanya itu kekurangan yang terlihat di kehidupannya. Bukan Ipung namanya jika ia yang terkenal seantero Budi Luhur karena ketidaklaziman keberadaannya justru tidak disenangi oleh para gadis, para guru hingga kepala sekolah, bahkan sampai pada Douglas, sahabat besarnya yang berprofesi sebagai satpam sekolah. Yang paling membuat iri para teman kaya nya adalah sosok para gadis yang terang-terangan menyukainya, tak terkecuali Paulin. Paulin si bintang paling terang di sekolahnya. 

Laju jam menunjukan pukul 23. 00 WIB, kantukku belum kunjung tiba, sepertinya aku bisa membabat habis buku ini dalam semalam, pikirku. Akhirnya dengan sedikit pertimbangan ku putuskan untuk menyelesaikannya malam ini saja. Sepanjang ini, bagian seru versiku dalam buku ini belum kunjung terlihat, hal itu membuatku penasaran tentunya karena jika melihat sekilas beberapa pujian untuk Mas Prie di novel ini seperti menyimpan satu ledakan tentang sosok Ipung. Ledakan yang sepertinya sederhana, namun dalam.

Menurutku, kisah cinta Ipung dan Paulin hanya sebatas latar pelengkap kisah cinta romantis  ala-ala remaja di novel ini. Alur ceritanya biasa saja. Sederhana dan ringan. Jauh dari kisah cinta sejati khas tokoh-tokoh besar. Meski dibalut kisah cinta yang sedikit menoreh kepahitan, jauh di dalam cerita ini ada kesederhanaan yang penulis sampaikan tentang pembelajaran hidup. Ya, lewat tokoh Ipung. Keberanian yang menjadi modal utama untuk melangkah sedikit lebih maju. Mengelola bakat yang nyatanya turut andil menjadi penghantar manusia menghadapi persoalan hidup. Menjelma sosok Ipung, manusia dengan segala keterbatasan sosialnya namun tetap digemari banyak orang. 

Bagian 11 dalam kisah ini sedikit menyihir naluri perempuanku yang mengharapkan bisa bertemu dengan sosok Ipung di kehidupan nyata. Ipung yang ditulis mas Prie dengan pola pikirnya yang sedikit tidak wajar dari kebanyakan orang. Namun siapa sangka itulah daya tariknya. Misterius dan penuh tanda tanya, dilengkapi bakat kata-kata yang ia punya. Bakat negosiasi yang menjadi nilai tambah kecerdasan berpikirnya dalam menyelesaikan setiap persoalan sederha. Perempuan manapun pasti akan lemah dengan tutur kata ajaibnya. Sederhana tapi dalam. 

Sayangnya, Ipung harus berpisah dengan Paulin di halaman terakhir buku ini. Ipung yang kerap menyadari bahwa Paulin ternyata ikut andil dalam segala ketidakladziman yang terjadi dalam kisah hidupnya. Ipung yang baru menyadari bahwa Paulin memang alasan dari nyali besar dalam dirinya. Ipung, seperti judulnya, cerita ini syarat makna melalui pemeran utamanya.

Ipung #2, April 2021.




0 komentar