Ia Bernama Ranah Mengaki
(Oleh: Desty Sri Lestari)
Potongan Pertama
Perjalanan ini dimulai saat pembagian kelompok Kuliah Kerja Nyata yang kerap disebut dengan KKN mulai diumumkan oleh Pusat Pengabdian kepada Masyarakat (yang selanjutnya akan disebut PPM). Saat pembagian kelompok mulai menjadi trending berita dikalangan mahasiswa/mahasiswi semester 6 kala itu. Beberapa nomor tak dikenal mulai masuk dengan membawa chat/pesan berupa sapaan dan perkenalan, satu dua nomor masuk, sempat berpikir, mungkin salah sambung, namun setelah melebihi batas wajar ternyata satu dua orang teman dekat mulai memberitahu bahwa pembagian kelompok KKN sudah keluar. Yang masih mampu diingat, saat itu orang yang pertama menghubungi melalui pesan singkat Whatsapp memperkenalkan dirinya dengan sebutan Salsa.
Desty Sri Lestari, mahasiswi yang mengambil Jurusan Sejarah Peradaban Islam secara tidak sengaja ketika itu, kiranya seperti itulah identitasi saya. Mendengar kata KKN seperti sudah menjadi sesuatu yang kurang bersahabat ketika itu. Terlitas beberapa desas desis yang kiranya menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran tersendiri bagi saya. Pelosok desa yang jauh dari keramaian, medan yang belum saya kuasai, susahnya transportasi karena saat itu dalam benak saya pelosok desa jarang sekali memiliki angkutan umum, sulitnya beradaptasi dan berinteraksi secara langsung dengan orang-orang baru, dari mulai bangun tidur hingga kembali tidur, 24 jam penuh dengan 18 kawan yang masing masing memiliki cara pandang hidup yang tentu berbeda, tak jarang beberapa konflik menghiasi kegiatan kami nantinya, belum lagi harus berkenalan langsung dengan budaya dan adat yang belum pernah saya temui sebelumnya, apalagi jika harus mendengar mistis-mistis yang bertebaran sebelum KKN terlaksana. Sulit jika terus dipikirkan dengan rinci satu per satunya, namun bagaimanapun keluhan saya saat itu, hanya bisa ditangani dengan menjalaninya sebaik mungkin, sudah menjadi kewajiban bagi saya selaku mahasiswi untuk turut serta mengikuti program yang berasal dari PPM ini karena menjadi salah satu mata kuliah wajib yang harus saya penuhi untuk menjadi syarat menempuh Strata 1.
Akhirnya pilihan jatuh pada bertawakal, dengan niat yang harus diperbaiki bukan semata mata untuk menyelesaikan program kuliah saja namun juga harus dibarengi dengan tekad baik mengabdi pada masyarakat sekitar. Tangerang menjadi daerah yang diamanatkan kepada saya dan kelompok baru saya saat itu. Desa Kosambi yang terhitung masih sangat kental dengan kearifan lokalnya juga suasana pedesaanya. Begitu kiranya kesan pertama yang saya tangkap saat saya melihat secara langsung pasca survey untuk yang kesekian kalinya dilakukan.
Nama saya ada pada tabel kelompok 183 dari 200 kelompok KKN di tahun 2019 ini, ya nomor yang terbilang hampir mendekati akhir kelompok bukan. Setelah grup Whatsapp mulai terbentuk dan akhirnya mengadakan rapat pertama, suasana yang masih terbilang canggung dengan 18 orang kawan baru berhasil menentukan ketua untuk kelompok saya, nama Sujatmiko dan Agung Fachrudin Darussalam terpilih menjadi ketua dan wakil ketua untuk kelompok 183 ini. Grup whatsapp kembali ramai untuk membicarakan rapat kedua dan segera mungkin membahas nama kelompok beserta program kerja apa saja yang akan saya dan kelompok saya lakukan di lapangan. Beberapa teman mengusulkan nama untuk kelompok dengan filosofinya masing-masing, namun akhirnya pilihan nama jatuh pada Gemintang dengan harapan mampu mempresentasikan keberadaan kami sebagai penerang di bumi Kosambi kelak. Rapatpun berlanjut dengan kunjungan langsung ke lapangan, sebut saja survey, guna untuk menjalin silaturahmi dan memperkenalkan maksud yang saya dan kelompok saya bawa ke perangkat desa setempat. Niat dan maksud ini disambut hangat oleh salah satu perangkat desa yang saya beserta kelompok saya sebut Bunda Rita nantinya. Sayangnya, disurvey yang pertama saya pribadi tidak dapat ikut serta karena masih harus mengikuti karantina wajib di Jakarta Barat.
Melihat jadwal yang ditentukan oleh PPM terkait pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata tahun ini jatuh pada tanggal 23 Juli- 23 Agustus, tentu membutuhkan persiapan yang sangat matang dengan waktu yang terbilang cukup singkat. Sebelum pelepasan oleh Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terpilih tahun ini, Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc., M.A, di Auditorium Harun Nasution pada tanggal 22 Juli 2019. Saya beserta kelompok mensepakati beberapa program kerja yang berhasil dirancang bersama dan diklasifikasikan kedalam 4 bidang, bidang tersebut ialah:
- Bidang Lingkungan (Sarana dan Prasarana)
- Bidang Kesehatan
- Bidang Sosial
- Bidang Pendidikan
Seutas Sawala
Tepat tanggal 23 Juli selepas ba’da dzuhur kelompok 183 KKN Gemintang brangkat dari titik kumpul yang sudah disepakati sebelumnya, halte busway UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya beserta kelompok ini, siap berproses di desa yang diamanatkan oleh almamater saya untuk mengabdi selama 30 hari kedepan. Karena keterbatasan sepeda motor yang dibawa ke desa tersebut akhirnya disepakatilah bahwa sebagian berangkat dengan menggunakan transportasi umum berupa KRL Commuter Line (Kereta Rel Listrik) yang nantinya akan dijemput oleh mobil salah satu anggota kelompok kami, Aini. Dan sebagian lagi berangkat dengan menggunakan sepeda motor. Kebetulan saya berangkat menyusul karena harus mengurusi ID Card kelompok kami yang belum rampung dipercetakan. Akhirnya dengan terpaksa saya berangkat sekitar pukul 15.00 WIB, beda sekitar 2 jam lebih akhir dari rombongan. Sesampainya disana ternyata kunci rumah yang akan saya tempati sempat tidak bisa digunakan, hal ini sedikit membuat saya dan kelompok ini, harus menunggu beberapa menit. Selepas magrib akhirnya pintupun terbuka, setelahnya saya beserta kelompok bergotong royong untuk membersihkan ruangan yang akan ditempati.
Memasuki minggu pertama kedatangan saya beserta rekan sekelompok di desa Kosambi, saya dan rekan lain disambut hangat oleh beberapa warga. Bahkan anak-anak terlihat antusias akan keberadaan pendatang baru ini. Sekedar informasi, posko saya terbilang sedikit jauh dari hiruk pikuk warga setempat karena posko yang saya tempati memiliki ruang lingkup yang terbatas, berada di tengah-tengan sawah yang mana ditengah-tengahnya berdiri 4 bangunan, area depan dipagari oleh gerbang yang terbuat dari besi sehingga tingkat keamananpun bisa terkontrol dengan baik, dibalik gerbang berdiri satu kantor yang nantinya saya sebut PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) disampingnya terdapat ruang kelas yang setiap sabtu minggu digunakan untuk para siswa setempat yang mengambil paket sekolah (nantinmya kelas ini akan dipakai untuk tempat tidur mahasiswa), selain itu juga berdiri kokoh satu mushola yang masih sangat terawat dan tak jauh dari mushola, sekitar 700 m berdiri bangunan yang disebut dengan Laboratorium Komputer yang saya dan kelompok saya gunakan sebagai tempat tinggal mahasiswi selama satu bulan kedepan atas izin dari pemilki tanah PKBM yaitu Pak Furqon. Selain Pak Furqon, ada juga pak Dede selaku salah satu staf dari kantor PKBM itu sendiri. Saya dan kelompok saya juga dikenalkan dengan Pak Musa dan keluarganya, mereka tinggal tak jauh dari lingkungan PKBM, Pak Musa ini selaku orang yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berada di lingkungan PKBM, baik Mushola, mengurus padi-padi yang ditanam, juga merawat bebek-bebek yang diternak disebelah barat PKBM. Betul, Pak Musa ini merangkap jadi Petani dan Peternak. Ada banyak kekaguman tersendiri yang tak begitu saya mampu bisa saya deskripsikan pada sosok ayah yang satu ini. Tak jarang juga Pak Musa menemani kami khususnya para mahasiswa untuk berjaga (Ronda) di malam hari. Peningkatan keamanan memang sangat perlu diperhatikan betul mengingat saya beserta rekan lain adalah warga baru dan pendatang, selain itu juga Tangerang terkenal dengan kriminalitasnya yang cukup tinggi bukan, namun apapun bentuk alasannya dimanapun dan kapanpun berhati-hati itu memang penting.
Sedikit saya deskripsikan suasana di PKBM atau yang saya sebut posko. Saya merasa sangat beruntung pada akhirnya karena mendapatkan tempat disini. Saya beserta rekan yang lain mendapatkan air bersih yang cukup, meskipun tak jarang beberapa kali tetap harus membuat antrian panjang agar tidak kehabisan air. Tetap saya bilang ini cukup. Air yang saya pakai untuk kebutuhan sehari-hari, baik untuk mandi atau memasakpun tidak tawar atau asin, disitulah titik bersyukurnya saya pribadi. Mengingat beberapa kali saya sholat di luar lingkungan PKBM air yang saya dapatkan, rata-rata tawar dan agak sedikit asin rasanya. Harus dimaklumi, karena lokasi penempatan KKN saya terbilang tidak begitu jauh dari pesisir laut pantai utara. Selama KKN berlangsung, saya belum pernah merasakan hujan mengguyur bumi Kosambi ini. Saat itu memang sedang musim kemarau, bahkan beberapa sungai sempat kering dan tidak mengalirkan air karena harus bergantian membuka bendungan dari pusat agar air tetap bisa ditemui dibeberapa sungai. Seingat saya, pernah sesekali sempat mendung dan gerimis namun tak kunjung turun hujan. Disitulah lagi-lagi saya pribadi merasa harus terus bersyukur karena air bersih masih terbilang cukup dan mudah saya temui di lingkungan sekitar PKBM. Sekedar informasi, sungai di desa ini sangat besar pengaruhnya bagi warga setempat. Sungai digunakan sebagai tempat mencuci pakaian kotor, mandi, bahkan beberapa masih saya temui jamban-jamban yang bertengger di tepian sungai. Itu artinya masyarakat di desa ini masih sangat bergantung dengan aliran sungai untuk keperluan sehari-hari. Desas desisnya rutinitas di sungai ini masih menjadi salah satu budaya yang belum ditinggalkan masyarakat setempat meskipun beberapa rumah memiliki kamar mandi yang layak untuk digunakan. Hal lain yang membuat saya kembali harus berucap syukur adalah pemandangan yang elok. Hamparan sawah dan padi yang saat itu mulai menguning seperti siap mernanjakan mata masyarakat pendatang seperti saya yang terbilang jarang sekali melihat pemandangan seelok itu.. layaknya dikota, saya hanya bisa bertemu dengan gedung pencakar langit dan gemerlap lampu ibu kota. Disini, Sudah dipastikan pula setiap menjelang sore saya bisa menikmati kuasa Tuhan dibalik detik-detik terbenamnya matahari setiap harinya. Begitulah kiranya gambaran suasana ditempat yang saya sebut posko.
Kembali ke kelompok saya, Ada bebeapa program kerja yang saya beserta rekan satu kelompok laksanakan diminggu pertama. Sembari menunggu kepastian dari kepala desa terkait pelaksanaan pembukaan Kuliah Kerja Nyata, saya berserta rekan lainnya melakukan silaturahmi sekaligus sosialisasi kepada warga sekitar, sembari memperkenalkan diri terkait kehadiran kelompok kami. Rumah yang dituju pertama kali yaitu rumah bunda Rita, kemudian setelah itu diarahkan ke Rumah Ketua RT 020 yaitu pak Yono yang nantinya akan menjadi fokus wilayah yang akan dieksekusi dan diselerasakan dengan program kerja yang telah saya dan teman-teman buat. Hingga sampai dihari tepat dilaksanakannya pembukaan, Alhamdulilah saya beserta rekan-rekan lain sukses mempresntasikan program kerja yang akan digarap dengan di moderatori oleh teman saya Zulhermansyah. Kebetulan dipembukaan saya bertugas sebagai Dirijen untuk memandu dua lagu Nasional yaitu Indonesia Raya dan Bagimu Negeri.
Memasuki minggu kedua saya beserta rekan lain masih terjalin dalam ikatan yang harmonis, satu sama lain saling support dalam menjalankan program kerja. Beberapa masalah yang muncul belum begitu rumit dan masih bisa diatasi dengan kepala dingin. Paling hanya masalah eksternal dan kesalahan teknis yang masih bisa dimaklumi. Program kerja satu persatu mulai terselesaikan, hingga sampai disatu malam saat rapat dan evaluasi berlangsung. Untuk pertama kalinya evaluasi dilakukan dengan keterbukaan dari sebagian personal yang ingin menyuarakan keluh kesahnya (biasanya hanya briefing dan rapat). Ada yang salah paham, ada yang tiba-tiba menangis, ada yang tiba-tiba menjadi pendiam setelah mendapat kritikan, ada pula yang hanya menyimak dan tak tau apa yang harus dilakukan untuk mencairkan kembali suasana yang dirasa mulai sedikit memanas. Saya salah satunya, saya memang termasuk orang yang lebih baik memilih diam saat dihadapkan dalam situasi seperti itu. Benang merahnya ada diperbedaan pendapat, sudah dipastikan menyatukan 18 kepala untuk satu visi dan misi itu memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa. Saya kira permasalahannya hanya terletak dicaranya. Bagaimana kiranya 18 orang ini mampu menurunkan ego masing-masing saat salah satu pendapat tidak terpakai, menegur dengan santun saat teman melakukan kesalahan yang membuat kesal, atau sekedar menghormati orang yang sedang mengeluarkan pendapatnya di forum dengan tidak memotongnya, saling menghargai begitulah kuncinya. Namun manusia tetaplah manusia, sesuai kodratnya, kadang khilaf. Terlepas dari itu semua, saya yakin tujuan 18 orang ini tetap bermuara pada kebaikan, ingin memberikan yang paling baik pada pengabdian ini.
Izinkan saya sedikit menorehkan ucapan terimakasih kepada 18 orang ini. Dalam kacamata saya, mereka luar biasa. Meskipun tidak adil rasanya jika saya mengeneralisasikan sifat mereka kedalam satu kategori, namun menurut saya mereka mahasiswa dan mahasiswi baik, menjunjung tinggi adab dan perilaku yang mereka implementasikan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Contohnya, ketika tiba waktu sholat, menjaga adab dihadapan orang yang lebih tua meskipun sebenarnya juga tak jarang merasa kesal dan ingin mengeluh, saling membantu dan mengingatkan dalam kebaikan, untuk yang ini terlebih saya rasakan bersama rekan perempuan saya. Terimakasih sudah mau berupaya untuk saling peduli satu sama lain, saat saya sehat ataupun sakit, terimakasih sudah mau direpotkan saat saya pribadi merasa kesulitan menghadapi masalah yang ada, saat bersedia menampung cerita dan bersandar saat ingin didengarkan, terimakasih sudah berjuang bersama menyelesaikan program kerja dengan berupaya menyelaraskan ego yang ada, kepada para ciwi-ciwi terimakasih sudah mau berupaya menyajikan makanan seenak mungkin setiap harinya, tak bosannya mengulang jadwal piket masak dan bersih-bersih untuk kenyamanan bersama, terimakasih sudah mau diganggu saat tengah malam untuk dimintai antar kekamar mandi yang berada diluar, khususnya kepada Salsa dan Lian, dan kepada para bujang, terimakasih sudah mampu diandalkan sebagai pemimpin bagi kelompok saya, memimpin jalannya rapat dan pelaksanaan program kerja, memastikan saya dan para perempuan selamat sampai tujuan saat pelaksaan program kerja berlangsung, mau berjaga setiap malam untuk keamanan bersama, mau direpotkan saat harus membeli kebutuhan sehari-hari seperti membeli air galon, meskipun tak jarang para perempuan gemas karena sedikit lama, biarlah itu jadi bumbu bagi kelompok saya.
Perkenalkan, Kosambi.
Mudah menemukan gelak tawa anak-anak yang kegirangan dengan dalih menghabiskan jatah main dimasa kecil mereka. Tanpa harus menghabiskan puluhan rupiah yang harus orangtua mereka keluarkan untuk membeli mainan mahal keluaran terbaru atau dengan merengek minta dibelikan gadget berbasik android yang biasa digunakan untuk bermain game online yang banyak digandrungi anak-anak milenials seperti sekarang ini. Sederhananya, gelak tawa itu bisa anak-anak di desa ini dapatkan hanya dengan mendapat jatah main selepas pulang sekolah. Ada yang bermain sepeda disiang bolong, menyusuri penggalan sawah, menerobos jembatan demi jembatan, sambil berlomba-lomba menentukan siapa yang paling dulu sampai tujuan. Ketika ditanya mengapa tidak tidur siang, jawaban mereka hanya sederhana, “tidur mah ti peuting hungkul, beurang mah jang ameung”. Baiklah, setiap anak kecil memang tidak menyukai tidur siang. Sebagian juga ada yang bermain layangan disawah, biasanya lapak sawah yang padinya sudah dipanen dan sawah dibiarkan kering untuk beberapa saat. Di sepanjang sungai juga tak jarang ditemukan anak-anak yang tertawa riang, berenang sambil bermain air dengan menggunakan ban-ban udara yang mereka bawa. Terik, suhunya bisa mencapai 330 C atau bahkan lebih, udara di desa ini memang begitu panas dan gersang, beruntungnya dilingkungan gerha yang nantinya saya akan mengaki ini masih dikelilingi oleh sawah-sawah yang menghampar berhektar-hektar dari sisi kanan, kiri, juga bagian belakang. Setidaknya masih ada udara segar yang bisa saya nikmati, pikirku.
Kosambi merupakan salah satu desa yang masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Tangerang, Banten. Desa ini terdiri dari 3 Dusun, 6 RW (Rukun Warga), dan 22 RT (Rukun Tetangga). Dengan penetapan batas wilayah di sebelah Barat yaitu Gintung, sebelah Selatan Pisang Jaya, sebelah Utara Rawa Kidang, dan sebelah Timur Kayu Bongkok atau yang orangorang mengenalnya juga dengan Muara Kondang. Adapun gambaran secara umum desa Kosambi ini di dominasi oleh Persawahan.
Perlu diketahui pula, sungai di desa ini sangat besar pengaruhnya bagi warga setempat. Sungai digunakan sebagai tempat mencuci pakaian kotor, mandi, bahkan beberapa masih saya temui jamban-jamban yang bertengger di tepian sungai. Itu artinya masyarakat di desa ini masih sangat bergantung dengan aliran sungai untuk keperluan sehari-hari. Desas desisnya rutinitas di sungai inipun masih menjadi salah satu budaya yang belum ditinggalkan masyarakat setempat meskipun beberapa rumah memiliki kamar mandi yang layak untuk digunakan. Namun sayangnya, disepanjang sungai yang saya temui jarang sekali mengalirkan air bersih yang seyogyanya mampu dikatakan layak untuk digunakan. Air sungai berwarna hjau mengalir dari bendungan menyusuri anak sungai, sampah sampahpun banyak yang berserakan di tepian sungai juga disamping tanaman-tanaman yang hidup disepanjang sungai, belum langi sampah yang berhasil tersaring saat melalui bendungan sangat jelas terlihat di pinggiran jalan dan jembatan, bahkan sempat saya lihat bangkai kucing yang mengambang di dekat bendungan sungai bedeng saat itu, mungkin terjatuh atau entahlah, saya tak bisa menyelamatkannya karena sudah megambang dan menjadi bangkai. Setiap paginya kadang saya temui ikan-ikan sapu mati dan menebarkan bau tak sedap di sepanjang sungai bedeng ini. Bisa jadi ikan-ikan itu mati karena air yang tercemar sampah, atau juga bisa karena terbawa oleh para pengambil sampah di permukaan sungai dan enggan untuk membawanya pulang karena bercampur sampah dan akhirnya ditinggalkan begitu saja ditepian sungai. Adapun air hijau yang mengalir tersebut entah salah satu faktor pendukungnya karena cuaca di desa ini saat itu sedang kemarau yang panjang sehingga sedikit banyak tentu berpengaruh terhadap kualitas air yang dihasilkan, atau bisa jadi air yang mengalir di desa ini biasanya memang seperti ini.
Berkaca pada kondisi yang ada, salah satu program yang saya dan kelompok saya usungkan diantaranya adalah pengadaan tempat sampah di sekitar area-area jalanan dan sungai, dengan harapan jika tempat sampah disediakan dipenjuru tempat akan meningkatkan kesadaran masyarakat sekitar untuk tidak lagi membuang sampah ke sungai tapi pada tempat-tepat yang sudah disediakan. Namun ternyata, sangat disayangkan program ini tidak mampu kami lanjutkan karena mendapat sedikit pertimbangan dari perangkat desa yang hadir saat presentasi program kerja di pembukaan berlangsung. Alasannya, karena tidak tersedianya mobil pengangkut sampah atau yang biasa disebut dengan truk sampah yang dapat membawa sampah-sampah tersebut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Akhirnya saya beserta kelompok saya merencanakan program kerja baru yang mana memberikan kemanfaatan yang sama. Menindak lanjuti dari keluhan ketua RT 020, akhirnya terciptalah program kerja baru berupa penerangan jalan diwilayah sekitar RT 020 yang disertakan dengan pembuatan plang. Memang sedikit berbelok dari keinginan awal saya dan kelompok saya untuk membantu meringankan permasalahan sampah yang ada, namun setidaknya terciptalah kembali program kerja lain yang mampu memberi manfaat yang sama nantinya.
Bunyi Sederhana
Tanggal 23 Agustus 2019, saya mulai mengemas pakaian dan perlengkapan lainnya seperti kasur, alat mandi serta barang-barang kecil lainnya yang saya bawa tepat sebulan yang lalu. Ada perasaan senang dan sedih yang berkecamuk saat itu. Senang akhirnya bisa kembali pulang kerumah tercinta dan berkumpul bersama keluarga, sudah lama rasanya menahan rindu. Disatu sisi juga sedih ketika harus melihat anak-anak meneriakan nama saya dan teman-teman saya sambil menanyakan kapan kembali ke desa ini. Yaampun, padahal sayapun belum senpat pergi dari desa ini sudah ditodong kapan kembali, sedih ketika tak ada lagi kejenakaan yang sama saat bergurau sambil bermain UNO bersama teman-teman seperjuangan, ya meskipun saya sendiri tak mengerti cara kerja permainan ini dan hanya menonton sambil sesekali melihat satu persatu teman saya dilumuri bedak putih diseluruh mukanya jika kalah. Ah, rindu. Kalian seperti bayi yang baru selesai dimandikan ibu tau –cemong hehe, sedih karena tidak bisa lagi menikmati angin segar sawah yang sepoi-sepoi disiang bolong yang kadang kala tak jarang sambil ditemani orang yang melantunkan lagu-laguan lewat pengeras suara –chika orangnya, sipemilik suara merdu, begitulah saya dan teman-teman memanggilnya. Namun berapapun alasan yang menahan saya untuk tetap tinggal disini, saya tetap harus meneruskan perjalanan ini, kewajiban menempuh dan menyelesaikan kuliah yang sudah saya mulai.
Kosambi dan segala isinya meninggalkan ribuan kenangan yang tersisa, pengalaman yang begitu berharga yang saban hari bisa saya ceritakan ke anak cucu saya kelak, ingatan yang seutuhnya tak mampu terbayar dengan nominal tentunya, semoga Tuhan senantiasa menjaga bumi kecil ini, merawat keelokannya, menjaga kearifan lokalnya, semakin menjadi desa yang bermartabat, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanuasian, mencetak generasi-generasi yang gemilang dan semakin maju dalam sarana prasarananya.
Terimakasih untuk yang terkasih, SD Kosambi 1 dan 2 beserta staf dan jajaranya yang telah memberikan banyak sekali pengalaman juga kesempatan, semoga semakin unggul dan terdepan dalam mencetak generasi yang berprestasi, Kepada perangkat desa beserta jajaranya terutama bunda Rita, terimakasih sudah senantiasa mengayomi saya beserta kelompak saya dalam segala hal. Terimakasih kepada Pak Furqon, Pak Dede, Pak Musa, dan semua pihak yang terlibat yang tak mampu saya sebutkan satu persatu. Do’a dan harapan terbaik saya selalu melambung untuk bumi kecil ini, Kosambi.